top of page

Mengenal Lebih Dekat Pahlawan Asal Plumbon "M.A. SENTOT"

  • M. Achwani & Yudha Pratama
  • Jan 27, 2018
  • 7 min read

Kisah Pasukan Setan yang dipimpin oleh “M.A. SENTOT” yaitu salah seorang Pejuang Perajurit Siliwangi, Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) asal Indramayu-Jawa Barat, ditulis oleh Wawan Idris, Supriyanto dan A. Sudalim Gymnasthiar, diterbitkan oleh “Kampung Dua,” 2008, mengisahkan tentang perjalanan anak bangsa dalam Arus Sejarah Nasional Indonesia, ketika berjuang mengangkat senjata melawan Belanda yang hendak kembali menjajah dan menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia.

M.A. Sentot lahir di Blok Lapangan Bola Desa Plumbon Indramayu pada tanggal 17 Agustus 1925, anak keempat dari pasangan ayah-ibu, H. Abdul Kahar dan Hj. Fatimah. Sejak menginjak remaja M.A. Sentot (MAS) sudah terlihat wataknya yang membenci penjajah Belanda, ia menyadari benar keadaan rakyat Indonesia (dahulu disebut Hindia Belanda) yang sedang terjajah sehingga sangat mengganggu pikirannya, namun karena situasinya pada waktu itu belum memungkinkan jadi MAS di masa remaja hanya bisa berangan-angan sambil menunggu saatnya untuk berjuang mengusir penjajah Belanda.

ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG

Pendidikan formal dalam sistem pendidikan Belanda yang dijalani oleh MAS adalah masuk menjadi pelajar Hollands Indlasche School (HIS) di Indramayu selama tujuh tahun, lulus tahun 1940. Dan ketika Jepang menduduki Indonesia ia masuk PETA (Pembela Tanah Air) mengikuti pendidikan militer Shodancho di Bogor, selama 9 bulan mulai tanggal 15 Maret 1943 sampai 1 Desember 1943. Setelah lulus, tugas pertamanya sebagai Shodancho dijalaninya di Daidan Majalengka, kemudian pindah ke Jatibarang setelah itu pindah ke Patrol, Anjatan-Indramayu.

PERANG KEMERDEKAAN

Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, pada tanggal 27 Agustus 1945 MAS menjadi Komandan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Kandanghaur, setelah itu pada tanggal 15 November 1945 dengan pangkat Letnan Satu menjadi Komandan Kompi III/Bn IV/XII/SGD II di Indramayu, kemudian pada tanggal 7 Mei 1946 menjadi Komandan Kompi II/Bn V/V/SGD II di Majalengka.

Namun ia kemudian mempertimbangkan lebih baik berjuang di daerah kelahirannya sendiri, menjadi Komandan Gerilya Indramayu dibawah naungan Brigade V/I/Siliwangi mulai tanggal 21 Juli 1947 saat terjadinya Agresi I. Tanggal 27 Februari 1948 MAS pangkatnya naik menjadi Kapten, sebagai Komandan Kompi I/I/XIII/Siliwaangi di Tasikmadu Solo ketika hijrah. Sepulang Long March kembali bergerilya di Indramayu. Pada tanggal 1 Desember 1949 pangkatnya naik menjadi Mayor sebagai Komandan Batalyon A/I/IV/Siliwangi di Indramayu.

Keadaan Indramayu di awal masa perang kemerdekaan, merupakan daerah subur (salah satu daerah lumbung beras bagi Jawa Barat saat itu, pen), dan rakyatnya sama dengan rakyat di daerah lainnya menentang kehadiran penjajah, sebelumnya terhadap tentara pendudukan Jepang, di Indramayu muncul perlawanan terhadap tentara pendudukan Jepang yang dipelopori pemuka agama yang dipimpin oleh H. Ilyas, H Durahman, dll, walau akhirnya dapat dipadamkan dikarenakan adanya penghianat-penghianat tetapi telah berhasil mengobarkan semangat patriotisme untuk mengusir penjajah.

Seiring dengan telah diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia Kondisi kemiliteran di Indramayu tahun 1945-1946, dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat), terus berturut-turut berubah nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI (Tentara Republik Indonesia) dan akhirnya menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Pada akhir tahun 1946 telah terbentuk Resimen 12 Divisi IV Siliwangi dbp Kolonel Sapari berkedudukan di Cirebon yang terdiri dari 6 Batalyon dimana salah satu Batalyonnya yaitu Batalyon VI berkedudukan di Indramayu dbp Mayor Sangun. Saat itu MAS yang telah dikenal sebagai Komandan BKR di Kandanghaur Indramayu dengan pangkat Letnan satu, kemudian ditempatkan di Batalyon V yang berkedudukan di Majalengka sebagai salah satu Komandan Kompi. Di Indramayu sendiri selain ada Tentara resmi yang dibentuk pemerintah RI juga ada Lasykar seperti Hizbullah, Lasykar Rakyat, Pesindo, dll.

Dalam sejarah Republik Indonesia bahwa rentang waktu 1946-1947, dikenal sebagai tahun “berunding sambil bertempur” atau dapat disebut “bertempur sambil berunding,” karena dimasa itulah dilakukan “Perundingan Linggarjati” pada tanggal 25 Maret 1947 yang menghasilkan “Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno hanya mempunyai kekuasaan di P. Jawa, P. Madura dan P. Sumatera dan Republik Indonesia menyetujui menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia Serikat ini akan bergabung dengan Belanda dalam satu UNI.”

Hasil perundingan semacam itu tentu saja merugikan Republik Indonesia dan lebih menguntungkan Belanda, namun demikian Belanda karena berkeinginan kembali menjajah Indonesia, maka pada tanggal 21 Juli 1947 melakukan “Aksi Polisionil I” atau yang kita sebut sebagai “Agresi I” dengan dalih untuk menciptakan “rust en orde” karena gerombolan Soekarno begitu mereka menyebutnya tidak mentaati Perjanjian Linggarjati.

Kondisi kemiliteran di Indramayu pada tahun 1946-1947, khususnya setelah Agresi I membuat Batalyon VI dbp Mayor Sangun terpukul kedudukannya, dimana untuk menghindari pembersihan yang dilakukan Tentara Belanda, para anggota Batalyon VI membubarkan diri kembali ke kampungnya masing-masing untuk melanjutkan gerilya. Melihat kondisi seperti itu MAS kembali ke Indramayu dengan jalan kaki bersama 3 oang anak buahnya, untuk melakukan konsolidasi dan menyusun kekuatan dengan cara mengumpulkan kembali anggota pasukan batalyon VI yang telah membubarkan diri dengan markasnya di Desa Plumbon tempat kelahiran MAS. Walau hanya berhasil mengumpulkan satu regu dengan beberapa pucuk senjata, tapi kegiatan gangguan, penyerangan terhadap kedudukan pos, markas atau asrama Tentara maupun Polisi Belanda, dan penghadangan terhadap mereka kerap dilakukan. Akibatnya Tentara Belanda marah, apalagi setelah Asrama Polisi di Pandean dibakar Pasukan MAS, sehingga Tentara belanda melakukan serangan ke Desa Plumbon, terjadi kontak senjata setelah itu MAS dan Pasukannya menghilang kearah Desa Panyindangan Wetan.

Setelah itu Pasukan MAS melakukan penghadangan dan penyerangan di Desa Lohbener, Larangan, Cikedung, Jambak, Penganjang, Bugel dan Bongas. Dalam berbagai penghadangan dan penyerangan Pasukan MAS banyak menimbulkan banyak kerugian di pihak Belanda dan banyak melukai serta menewaskan Tentara Belanda. Saat berada di Desa Bongas MAS bertemu dengan Pasukan Hassan (Lasykar Jakarta) yang ingin menggabungkan diri dengan Pasukan MAS.

Dengan taktik gerilya menghadang dan menyerang Pasukan Belanda kemudian menghilang ke dalam hutan, membuat gusar Pasukan Belanda dan sering membalas dengan melampiaskan kemarahannya dengan membakar Desa dan menembak mati orang yang dianggap anggota atau membantu Pasukan MAS. Akibatnya rakyat menjadi marah dan makin berani terhadap Tentara Belanda, seperti yang dilakukan oleh rakyat di Desa Bugel dengan menghancurkan jembatan yang ada disana.

Meskipun Tentara Belanda telah menguasai Indramayu tapi bukan berarti rakyat Indramayu tunduk terhadapnya, sama sekali tidak. Para pemimpinnyapun mengungsi ke Desa Gelar Mendala (Ciwatu), berkumpul melakukan musyawarah untuk mengatur siasat perjuangan melawan penjajah dan membentuk Pemerintahan Sipil, dalam musyawarah tersebut dihadiri antara lain Mayor Sangun, Garjito (Polisi), menghasilkan kesepakatan untuk mengangkat Mursyid Ibnu Syaifuddin sebagai Bupati Indramayu dan membentuk SKR (Susunan Keamanan Rakyat) disetiap Desa guna membantu pasukan gerilya. Mayor Sangun diangkat sebagai penghubung untuk mempersatukan badan-badan perjuangan seperti Pasukan MAS yang disebut sebagai Pasukan Setan dikarenakan setiap setelah melakukan penyerangan dan penghadangan terhadap Pasukan Belanda langsug menghilang tidak diketahui rimbanya, serta badan perjuangan lainnya yatu Pasukan Hizbullah dbp Danu.

Mendengar adanya laporan dari mata-mata Belanda, bahwa telah diadakan Musyawarah di Gelarmandala, maka Pasukan Belanda melakukan serangan mendadak pada pagi hari, melakukan pengepungan dari lima jurusan, yaitu dari Desa-Desa Sukaurip, Pekandangan, Malang, Semirang, Longok dan Sudimampir. Tetapi karena tidak berhasil meangkap orang-orang yang dimaksud, Belanda dengan membakar habis Desa Gelar Mendala.

Selama Perang Kemerdekaan 1945-1949, MAS tampil sebagai pejuang yang berada di garis depan pertempuran. Tindakan tegas dan keberaniannya disetiap pertempuran menjadikan dirinya selalu dicari-cari Tentara Belanda. Namun semakin dicari, ia justru semakin melawan. Dibawah bendera Pasukan Setan (PS) yang dipimpin MAS memberikan pelajaran kepada Tentara Belanda bahwa orang Indonesia tidak bisa diremehkan.

Salah satu aksi yang dilakukan pasukan ini adalah menghadang konvoi tentara Belanda di jembatan Bangkir. Dalam pertempuran ini pihak Pasukan Setan menewaskan 40 tentara Belanda dan merampas semua persenjataan mereka. Keberhasilan penyerangan konvoi Belanda di jembatan Bangkir pada November 1947 ini merupakan sebuah hasil dari penyerangan yang terencana. Sebelumnya, Pasukan M.A. Sentot terlebih dulu telah mendapat bantuan senjata dari Polisi Belanda yang berada dibawah pimpinan Suhad, yang menggabungkan diri dengan pasukan Republik Indonesia, di desa Anjatan. Dengan diperolehnya bantuan senjata ini, maka diadakan Iagi penghadangan di Desa Kopyah dengan tujuan untuk menyelamatkan tawanan2 yang akan dibawa Belanda ke Haurgeulis. Modal kemenangan dari penghadangan di berbagai tempat membuat pasukan gerilyawan semakin berani dan percaya diri. Dari rasa percaya diri itulah direncanakan melumpuhkan konvoi tentara Belanda di jembatan Bangkir pada akhir bulan Novembar 1947. Pada sekitar jam 05.00 pagi pasukan gerilya telah disiapkan untuk mengadakan operasi di sekitar jembatan Bangkir. Sementara itu rakyat di sekitarnya diungsikan ke desa2 yang diperkirakan lebih aman. Setelah lama menunggu barulah sekitar jam 09.00 terdengar suara truck yang ternyata bukan truck militer Belanda. Truck preman yang dikawal 2 Polisi Pasundan tersebut tidak diganggu utk menjaga jangan sampai rencana itu bocor. Sekitar jam 11.00 barulah ada kode dari Pos Peninjau yang memberi isyarat bahwa konvoi Militer Belanda yang didahului oleh Bren-Carrier akan melintasi jembatan Bangkir dari arah Indramayu. Pasukan yang semula kaget melihat banyaknya tentara Belanda bangkit kembali semangatnya setelah M.A. Sentot memberi komando untuk melakukan tembakan. Dari jarak hanya 30 meter pasukan M.A. Sentot menembaki pasukan Belanda. Kopral Dali, seorang penembak bren, berhasil melumpuhkan Bren-Carrier beserta pengemudinya. Jumlah kerugian Belanda tak terkira, sebab seluruh peleton prajurit yang konvoi berikut satu mobil palang merah Belanda dapat dihancurkan. Pertempuran yang berlangsung sekitar tiga jam itu berakhir sekitar jam 14.00. Dalam peristiwa ini dua orang tentara Belanda berhasil lolos. Namun dalam upaya menyelamatkan diri ke kota Indramayu yang berjarak sekitar 10 kilo meter, mereka tertangkap oleh rakyat dan akhirnya dibunuh. Di kemudian hari diketahui bahwa salah seorang dari dua tentara yang dibunuh rakyat ini merupakan dokter berpangkat Mayor. Sementara itu dari pihak pasukan M.A. Sentot gugur satu orang bernama Salim.

Setelah perang kemerdekaan usai dan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indoesia, MAS naik pangkatnya menjadi Mayor sebagai Komandan Batalyon A Divisi Siliwangi. Kemudian menjadi Komandan Detasemen Subsistensi KMKB Bandung di tahun 1951, menjadi Staf TT III Siliwangi di tahun 1957, Siswa SSKAD di tahun 1957 dan ditahun yang sama naik pangkatnya menjadi Letkol. Setelah lulus SSKAD ditempatkan di Kalimantan Selatan, menjadi Komandan Batalyon 604 di Kotabaru Kalsel, kemudian menjabat Irtepe Koanda Kalimantan, Asisten II Deyah Koanda dan pernah mewakili Kepala Staf Deyah Koanda. Desember 1961 pindah tugas dan ditempatkan sebagai Pamen SUAD III Mabesad di Jakarta, Maret 1963 ditugaskan di Operasi Karya menjabat Asisten III dan Juni 1966 dipindahkan kembali ke Mabesad dan Oktober 1969 pangkatnya naik menjadi Kolonel, pensiun tahun 1980 dengan pangkat terakhir Kolonel. Setelah pensiun MAS kembali ketengah masyarakat dan tinggal di Bugel, Patrol Indramayu.

Beliau wafat tanggal 6 Oktober 2001 dan pahlawan perang kemerdekaan asal Indramayu itu dimakamkan di TMP Cikutra Bandung, dan juga istrinya ibu Siti Alyah yang meninggal tahun 2002 dimakamkan ditempat yang sama karena terdaftar sebagai veteran pejuang 1945. (Ibu Siti Aliyah mendampingi MAS selama perang kemerdekaan, bergerilya keluar masuk hutan di Indramayu, ikut hijrah ke Jogyakarta/Jawa Tengah dan Long March kembali ke Jawa Barat, pen). Semasa hidupnya MAS punya pandangan tentang pahlawan yaitu ”Pahlawan itu ibarat kuburan, saya bukan ketek anoman yang dipertontonkan, dimana pejuang dan pahlawan diperingati disetiap perayaan hari pahlawan atau hari proklamasi dimana mereka biasa diundang setelah peringatan itu dilupakan kembali.”

Sebenarnya Bupati Indramayu (saat itu) M.S. Syaifuddin menginginkan almarhum dimakamkan di TMP Indramayu, tapi kawan-kawan seperjuangannya atau para perwira purnawirawan yang mengenal beliau sebagai salah satu prajurit terbaik (Siliwangi, pen) menginginkan dimakamkan di TMP Cikutra Bandung (juga keputusan Ibu Siti Aliyah yang menginginkan almarhum suaminya dimakamkan di TMP Cikutra Bandung, keputusan ini disampaikan kepada M.S. Syaifuddin dan istri oleh M. Achwani anak kedua alamarhum, pen).

Comentarios


Jl. Raya Indramayu-Jatibarang KM 7 Desa Plumbon Indramayu Jawa Barat Indonesia 45215

©2018 BY DESA PLUMBON - INDRAMAYU. PROUDLY CREATED WITH WIX.COM

bottom of page